Pages

Monday, May 17, 2010

Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan hari tanggal 14 Mei kemarin, semuanya seperti serba bertumpuk, serba sial, serba basah, dll. Hari itu bisa saja dimulai dengan biasa saja, bangun di rumah istri, mencoba untuk keluar dengan keadaan selamat serta tidak ketahuan dan dengan sedikit usaha pun berhasil; namun, pada prosesnya, satu per satu sentilan bermunculan.
Saya kuliah seperti biasa, di jalan pun lancar-lancar saja, namun di kampus keadaan hari itu mulai nyeredet hate. Mungkin ya, mungkin, orang yang lihat atau orang yang jadi saya bakal nilai saya sedih. Saya pakai baju tidur plus jaket biru tua bulu-bulu favorit saya, gak ada yang ngeh kalausaya pakai baju tidur, baguslah; terus sepasang sepatu converse merah marun saya pakai tanpa kaus kaki, ini kasih bonus lecet-lecet di tumit dan di kelingking jari kaki. Belum seberapa, saya selesai kuliah itu jam 10.20 tapi terpaksa menunggu istri sampai jam 3. Oke, kata saya, ga masalah, menunggu bukan masalah buat saya. Tadinya sambil membuang waktu saya mau nebeng kostan sama teman, salah satunya setuju-setuju saja tapi lama kelamaan mereka tidak menunjukkan adanya komformitas (yang sembunyi-sembunyi biar saya gak tahu, tapi pasti saya tahu laah), akhirnya katanya mereka mau jalan-jalan dulu, ko jadi ribet? Kata hati saya, jadi saya urungkan niat saya, terlebih lagi salah satunya sudah menghindari kontak mata, saya juga jadi gak enak, yo wes, tak kembali aja ke kampus, pikir saya.
Saya memang tidak punya banyak teman, kebanyakan dari teman sekelas sudah punya clique masing-masing, apalagi saya tidak suka bergerombol kaya gitu, jadinya saya pilih duduk sendiri. Saya putuskan ambil kursi dan rencananya mau makan di kantin, mau beli nasi saja, soalnya lauknya sudah dibawakan sang istri.
Sebelum makan, saya kebelet kepengen pipis, saya geledahlah tas saya yang warna merah marun and bolong-bolong itu, jengjeng pembalut lupa saya bawa: saya harus beli dulu. Tapi dilemanya begini, kalau saya beli pembalut, uang saya hanya dua ribu yang artinya saya harus pilih makan atau pipis?? Ya okelah kalau begitu, kebutuhan yang lebih mendesak saja, jadi saya belikan pembalut, deh. Sisa seribunya saya belikan Sari Gandum buat ganjal perut, terus minta segelas air sama yang punya warung.
Dari langit terdengar suara:

Dear Zed, how sad you are, got no friend, no money, begging for a glass of water, eat less than a fly weight, and don’t even wear socks!

“Aku baik-baik saja, menikmati hidup yang aku punya,” (Oppie Andaresta) balas saya.

Istri saya akhirnya selesai kuliah, senangnya, saya lalu bergegas menjemput. Di jalan, langit berbaik hati menebarkan air dari atas sana, deras pula. Saya memang pakai ponco, tapi ternyata bocor di daerah tengkuk dan tidak menutupi kaki saya. Alhasil, jaket basah dan sepatu saya berubah fungsi jadi gayung air.
Sesampainya di tempat penjemputan, saya gak sempat berebut tempat berteduh, jadinya cuma bisa berdiri menghadang hujan dipinggir jalan. Kaya sinetron aja, cuma pake ponco…hahaha. (tawa getir). Istri saya menemui saya di tempat makan nasi padang—saya akhirnya mau beranjak dari pinggir jalan, karena takut ganggu orang parker—selama penantian di sana, saya sangat tersiksa. Wangi masakan nasi padang benar-benar membuat perut saya meraung, nasi… rendang…ayam balado…graauhhh, katanya. Waktu datang, istri saya nampak seperti malaikat, thank you for getting me outta here… Lalu perjalanan berlanjut, ke suatu tempat di jalan Ranggamalela.
Di sana saya akhirnya bertemu dengan nasi, dan istri saya pesan indomie rebus. Disini, grafik hari itu sedikit meningkat lah, ya. Nikmatnya…meskipun terganggu dengan sekelompok orang yang merhatiin terus, dan ternyata artis. Kepengen dilihat balik kayanya, tapi kami cuek saja makan sambil ngobrol. Selesai makan hari masih hujan, tapi kami putuskan pulang saja, saya kangen tempat tidur saya. Semakin kami mendekati tempat tujuan kami, hujan sedikit bertambah deras. Inilah final dari hari itu. BANJIR BESAR, ya ga besar-besar amat, sih. Tapi cukup besar untuk menenggelamkan motor kami dan membuat kami stuck tidak bisa kemana-kemana—mundur kena, maju kena. 

Jalan besar macet total dan nampak seperti medan peperangan lengkap dengan lubang di jalan segede balong (kolam ikan) seperti bekas mortar. Layaknya berada di garis depan, satu persatu kami melihat prajurit terluka yang mundur dari garis depan berupa orang-orang yang mendorong motor dan mobil mereka. Istri saya berangkat untuk memeriksa keadaan, dan pulang dengan laporan bahwa di depan ada banjir setinggi paha, ma’am! Bagus. Itu artinya bisa berjam-jam untuk surut. Dengan keadaan basah dan sepatu terisi penuh air, kami meninggalkan garis depan untuk ngenet. 2 jam saja cukup nampaknya, sekalian saya cari-cari materi buat blogging dan istri saya ngecek facebook. Kami lalu-lalang di warnet bertelanjang kaki, karena efek hujan juga nyiprat kesini (genangan air dari rembesan tanah). 

Setelah 2 jam, dirasa cukup untuk melanjutkan. 
Rasanya ingin teriak saya, ternyata hujan tidak berhenti dan artinya banjir belum tentu surut. Benar saja, kemacetan memang berkurang, tetapi banjirnya tidak. Dengan bantuan dari seorang panglima (bapak-bapak yang berkata, “Ayo, bareng saya saja!”), kami literally berenang bersama motor kami yang juga kami paksa meraung, kalau tidak air bisa masuk dan mogok total.


Tapi di perjalanan aneh, ada nelayan tersesat! Coba cari ikan di selokan menggunakan jala! hahaha. 
Akhirnya, lautan itu terlewati! Saya ucapkan perpisahan pada istri saya, karena di sini saya harus kembali ke arah kami datang—mengarungi lautan itu sekali lagi, untuk mencapai rumah. Di perjalanan kembali, saya sudah tidak bisa membedakan yang mana selokan dan jalan, semuanya bergabung menjadi Sungai Rancabolang. Saya sudah tidak peduli dengan penampilan dan hujan yang merintik di kepala saya, saya hanya fokus berenang—not literally—dan berharap tidak hanyut terseret arus (lebay). Istri saya hanya bisa khawatir, tapi saya akhirnya tiba di rumah membawa oleh-oleh celana basah, sepatu basah, rambut basah, dan kaki keriput. “Lihat, Mah! Saya bawa oleh-oleh dari Bandung, nih! Banjir!” Hahah.


Di rumah, saya bercinta sejenak dengan ranjang lalu tewas.

Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan hari tanggal 14 Mei kemarin, selain PETUALANGAN.

Saya bersyukur akan kehadiran soulmate saya, kalau bukan karena dia, saya pasti sudah kalap teriak-teriak layaknya orang gila. Hahaha. I love you, Bu!
What a day!

No comments:

Post a Comment